Friday, June 28, 2013

Media, Televisi dan Pembentuk Persepsi

Pagi terlalu dini, apakah efek secangkir dan segelas kopi? Capek, sudah pasti. Dan tulisan ini menantiku tiap hari untuk diisi. Mungkin selama memungkinkan, tak apa selagi kubisa lakukan, tiap waktu untukmu curahan, goresan, atau lebih tepatnya ketikan.

Mari berbicara tentang sumber informasi yang kita konsumsi setiap hari, mau ataupun tidak, yang kita inginkan atau bukan: media. Di negara kita tercinta ini, media sebatas bisnis yang menguntungkan. Yang akan memberikan keuntungan kepada penguasa, korporat pemegang kepentingan, dan kelangsungan bisnis media tersebut. Media sekarang lebih mirip dengan ilusi, ilusi yang ingin ditampilkan kepada khalayak layaknya ilusionis yang menampilkan apa yang ingin ia tampilkan kepada penontonnya. Media adalah pesulap, ilusionis, pemegang kepentingan, sarana politik. Media saat ini nampaknya lebih dalam taraf menghibur, daripada menginformasikan. Seperti apa yang Mumia gambarkan dalam All Things Censored, nampaknya di Indonesia juga begitu adanya. Media lebih menampilkan hiburan, memforsir pada apa yang sedang digemari masyarakat, kebanyakan. Selain itu media sarat akan muatan politis, membentuk opini publik mengenai tokoh, partai, pergerakan, atau mungkin kepentingan korporasi. Bukan hal yang langka lagi, hampir semua jaringan media besar berkaitan dengan politik, mulai dari ketua partai, anggota dewan tinggi partai dan kader-kader partai. Yang akhirnya media yang dimilikinya dijadikan semacam sarana promosi murah, atau mungkin gratis, mereka yang tau. Dan ketika kepentingan itu terus berlanjut untuk menggalang masa, tak heran rasanya saat tiap ada peringatan tertentu ada ucapan selamat dari petinggi partai, ataupun ketua partai yang mengatasnamakan partai ataupun anak organisasi partainya tersebut.

Media yang paling sering digunakan adalah televisi, media informasi dan hiburan yang hampir dapat diakses setiap keluarga Indonesia, berbagai kalangan, miskin hingga kaya, muda sampai tua. Meski nyatanya lebih banyak televisi yang menghibur, daripada menginformasikan, bahkan kanal berita sekalipun. Jika mereka cenderung kritis, ada kepentingan dibelakangnya, ada maksud lain dibalik kritik mereka kepada sistem maupun pemerintah: memperkenalkan partai mereka, sistem mereka, tokoh mereka, yang mereka klaim lebih baik, terang-terangan maupun terselubung. Dan gelontoran gosip-gosip tak penting, berita yang cenderung diseragamkan, mencari berita yang sedang digemari, pencitraan tokoh, hingga sinetron stripping yang mengeruk keuntungan semata, dengan jalan cerita yang berbelit, ruwet. Dan nampaknya televisi telah menyiapkan pasar sendiri, pasar yang nantinya menimbulkan permintaan yang akan mereka suplai hingga mereka menemukan celah untuk menciptakan pasar yang lain lagi. Televisi tak lagi independen, tak lagi memenuhi banyak keinginan, televisi yang mengikuti pasar yang mereka bentuk sendiri, mengulang-ulang hingga kita dipaksa untuk hafal, semua untuk pasar mayoritas, minoritas hanya sebagian kecil, porsi yang tidak membuat kenyang. Televisi yang melayani umum, sangat umum, sehingga segmen yang berbeda jarang tersentuh. Televisi yang mainstream.

Media lain juga ikut andil, tapi saya rasa lebih tersegmen, terkotak-kotak, tidak umum seperti televisi. Dan media selain televisi itu lebih menekankan pada segmen-segmen yang jadi sasarannya, karena pembagiannya lebih jelas. Independensi disini cenderung lebih kuat, namun pada akhirnya tetap berbatas pada laba, kepentingan pemilik modal, pemerintah, keamanan san keuntungan. Hanya segelintir media yang benar-benar independen hingga pernah diberangus sekian lama di masa lalu.

Jangan terlalu percaya pada media, mereka sarat kepentingan. Dan hanya beberapa yang menyajikan dengan apa adanya, kritis. Hak kita masing-masing untuk percaya ataupun tidak. Dan lagi, disini pengetahuan ikut ambil bagian.

Terlalu pagi memulai, dan diakhiri saat hampir berganti.

No comments:

Post a Comment